Pertanyaan klasik ini barangkali bisa diwakili oleh kisah Gatotkaca. Tokoh wayang yang lekat dengan julukan “otot kawat tulang besi” ini dikisahkan secara tersendiri dalam mitologi Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Ayahnya adalah Bima, salah satu satria Pandawa. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Sampai akhirnya Arjuna, Sang paman, berhasil memotongnya dengan menggunakan sarung sebuah pusaka.
Bayi ajaib tersebut kemudian dibawa ke kayangan untuk dirawat dan dibesarkan oleh Narada. Narada lalu menceburkan tubuh mungil Tetuka ke dalam kawah Candradimuka. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis pusaka ke dalam kawah, dan beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya. Gatotkaca dewasa selanjutnya diangkat menjadi penguasa di kerajaan Pringgadani.
Kisah Gatotkaca tersebut bisa menjadi metafora dari pertanyaan di awal tulisan ini: Apakah seorang pemimpin dilahirkan ataukah dibentuk melalui tempaan? Apakah Gatotkaca bisa menjadi raja semata-mata karena mewarisi “darah biru” Sang Ayahanda, ataukah karena melalui gemblengan keras di dalam kawah Candradimuka?
Pada tahun 2006, Ayres dan tim melakukan riset serius tentang pertanyaan tersebut. Hasilnya dipublikasikan dalam jurnalLeadership Quarterly. Berdasarkan studi terhadap lebih dari 100 pasangan anak kembar, mereka menyimpulkan bahwa faktor genetik berkontribusi hingga sekitar 30 persen atas kemampuanleadership seseorang. Kesimpulan mereka, seorang pemimpin 1/3 “born” dan 2/3 –nya adalah “made”.
Nah, masalahnya tidak sedikit orang yang beranggapan sebaliknya. Mereka meyakini bahwa kepemimpinan murni soal faktor keturunan. Atau, dengan kata lain, menjadi pemimpin semata-mata hanya ditentukan oleh “bakat” yang mengalir di dalam darah kita. Inilah salah satu pemikiran yang berbahaya terkait kepemimpinan. Kenapa berbahaya?
Bayangkan, dengan pemikiran tersebut, seseorang yang telah menjadi pemimpin mungkin tidak akan lagi berpikir untuk mengembangkan kemampuannya. “Buat apa? Toh sudah sampai sini saja bakat kepemimpinan yang aku miliki."
Seseorang yang belum menjadi pemimpin mungkin juga tidak akan berpikir untuk menaikkan posisinya. “Buat apa? Toh, kalau memang tidak bakat, akhirnya nanti akan gagal juga.” Perusahaan-perusahaan pun hanya akan fokus pada “perekrutan pemimpin”, bukan “pengembangan potensi kepemimpinan” karyawan-karyawannya. “Buat apa dikembangkan? Toh ini masalah bakat yang tidak bisa dipaksakan ke semua orang.”
Interaksi antara faktor “born” dan “made” bisa dianalogikan dengan sebuah benih. Benih yang berkualitas memiliki potensi untuk tumbuh menjadi sebuah pohon yang kuat. Namun, jika benih tersebut tidak pernah dipupuk dan disirami, hasilnya hanyalah sebatang pohon yang kerdil.
Nah, tulisan-tulisan selanjutnya di dalam WOW Leadership seriesini adalah tentang “pupuk” dan “air” untuk menumbuhkan bibit kepemimpinan di dalam diri kita.
Tulisan di kolom ini merupakan intisari dari buku WOW Leadershipyang diluncurkan MarkPlus di akhir tahun 2014 lalu dalam acara tahunan MarkPlus Conference.
Ardhi Ridwansyah adalah Chief Operations di MarkPlus Institute, unit bisnis di bawah MarkPlus, Inc. yang memberikan jasa pelatihan dan pengembangan SDM perusahaan. Ardhi juga penulis beberapa buku pemasaran dan bisnis (sebagian besar ditulis bersama Begawan Marketing Hermawan Kartajaya),
antara lain trilogi buku Selling with Character, Service with Character, serta Branding with Character (2011), Leadership 3.0 (2012), Local Champion (2013), WOW Selling (2014) dan WOW Leadership (2014). Dia juga rutin menjadi pembicara, antara lain di Safari Seminar Series yang diselenggarakan MarkPlus Institute di 17 kota, Executive Education Program yang dilaksanakan untuk para manajer senior di
Jakarta, serta Marketeers Dinner Seminar yang diselenggarakan di Jakarta, Bandung dan Surabaya.
0 Response to "Pemimpin Dilahirkan atau Dibentuk?"
Posting Komentar